Selasa, 11 Februari 2014

Whatever it is, Travelling is Possible!


Ini adalah sebuah tulisan yang khusus didedikasikan untuk sahabat-sahabat saya. Sebuah janji yang belum sempat terbayar ketika habis berpetualang kurang lebih selama 8 hari. Caca, tepatnya. Dia yang merequest sebuah tulisan ini karena saya tidak pernah menulis untuk mereka. Jadi dengan segenap perasaan yang mirip nano-nano mari kita untai perjalanan kita.
Sebenarnya perjalanan ini sudah dirancang lumayan lama, meskipun kami awalnya kami agak sedikit pesimis dengan jadwal fakultas yang bisa saja berubah seketika itu juga. Awal tujuan kami sebenarnya untuk menginjakkan kaki di Hongkong, namun karena tiket yang tersedia hanya tinggal untuk 2 orang saja jadilah demi sebuah kata yang berlandaskan "FRATERNITY" saya secara sepihak mengubah rute menjadi Kuala Lumpur-Singapore-Johor Bahru-Singapore-Malacca-Kuala Lumpur dengan pertimbangan setidaknya meskipun kami tidak berangkat berenam, kami bisa berangkat berempat. Sedih juga rasanya ketika yang berangkat hanya terdiri dari 4 orang, padahal kami biasanya berenam. Ya totally i miss  when we were six. 
Perjalanan pertama di mulai dari Kuala Lumpur, setelah window shopping di Suria KLCC dan menonton "introduction show" seorang bule vs wanita india yang membuat saya, nindy dan tassa ngakak setengah mati, kami kembali ke KL Sentral untuk naik kereta api ke Singapore. Ini pengalaman yang cukup mengesankan karena faktanya saya tidak pernah naik kereta api dengan waktu yang lumayan lama yaitu sekitar 7 jam. Padahal paling banter naik kereta tuh cuma Cimahi-Bandung yang hanya memakan waktu 30 menit. Beruntung kami mendapat tempat tidur yang di atas, padahal awalnya agak heboh juga mau pesan pake credit card karena takut kehabisan. Begitu liat tempat tidur nya yang lebih mirip mix dorm, agak butuh perjuangan juga ternyata untuk sampe ke tempat tidur itu. Dengan suara kereta yang cukup mengganggu telinga, saya cuma bisa tidur 3 jam. Haha. Untunglah akhirnya 7 jam itu terlewati sehingga akhirnya kami sampai di imigrasi Singapore.

Masuk imigrasi Singapore memang lebih rempong dibanding imigrasi Malaysia, maklum mungkin karena negara maju jadi lebih jaim. Saya bilang seperti itu bukan tanpa alasan. Lewat petugas imigrasi Malaysia tidak perlu mengisi selebaran kertas apapula itu, begitu di kereta juga petugasnya sendiri yang menghampiri kita. Cukup berbeda dengan imigrasi Singapore, yang harus mengisi selebaran kertas, mana lari-lari pula, rusuh abis lah pokonya. Saking rusuhnya pas hari kedua pulang dari Legoland dan JPO, saya kehilangan kartu STP. Sejenis kartu yang berharga Rp.300.000 untuk transportasi, mungkin bagi sebagian orang tidak begitu bernilai tapi bagi mahasiswa seperti saya cukup sesak juga. Untung saja saya masih punya EZ-Link Card bekas dulu yang masih berlaku sampai Januari 2015. Huftt. Tetap saja esoknya saya beli lagi STP untuk one day pass karena memakai EZ-Link Card dirasa lebih boros.

Begitu keluar woodlands checkpoint, kami langsung menuju bis yang mengantarkan ke stasiun MRT untuk selanjutnya ke Yishun, ya tempat tinggal kami selama di Singapore. Apartemen kami tidak jauh dari stasiun MRT, tepat di sebrangnya yang ada tulisan "Nee Soon East" juga sebelah apartemen kami sebuah mall yaitu North Point Mall. Haha Singapore memang the king of mall. Tapi pada kenyataannya, untuk mengunjungi mall yang letaknya begitu dekat saja kami tidak sempat. Baiklah balik lagi ke apartemen, apartemen itu terdiri dari 3 kamar tidur dan 2 kamar mandi. Karena saya sebelumnya telah diberitahu password kunci gembok untuk masuk apartemen itu jadi ya tinggal masuk saja. Inilah pemandangan yang terlihat dari apartemen tempat kami menginap.

Apartemen itu hanya dihuni gadis kecil yang lucu, imut-imut bangetlah kaya nindy haha, namanya Josephine. Saya pikir dia masih SMA ternyata cuma beda satu tahun dari saya. Dia kuliah di NAFA (National Fine Arts apa gitu lah ya lupa lagi), toh karena selama ini saya memang hanya berhubungan dengan kakanya untuk urusan sewa apartemen yaitu ka Vicky. Kakanya lulusan sebuah universitas di Perth, Australia dan insting bisnis nya cukup tinggi. Hal ini bisa terlihat dari tumpukan stok barang di apartemennya dan berdasarkan kekepoan saya kalau tidak salah dia director sebuah toko kosmetik di Singapore dan pernah memenangkan awards apa gitu ya lupa lagi lah pokonya. Namun kakanya Josephine yaitu Ka Vicky dan satu lagi lupa, mereka sedang liburan tahun baru china di Bandung (Kebalik sama kita-kita yang malah ke Singapore!). Josephine tidak pulang ke Bandung karena dia bilang ada tugas kuliah yang harus diselesaikan (tega banget tuh dua kakanya, ninggalin adik cewenya seorang diri di apartemen lantai 10 lagi!). Akhirnya waktu 4 hari di Singapore kami habiskan bahkan setiap hari kami pulang hampir mendekati pukul 12 malam. Kalau saja MRT beroperasinya 24 jam mungkin bisa-bisa kami pulang besok subuh. Haha. Malam terakhir di Singapore kami menikmati indahnya fireworks laser yang bernama Song Of the Sea di Beach Station, Sentosa Island. Indah syekalii, berasa dunia cuma milik kita aja yang lain ngontrak.

Oh ya hari pertama di Singapore saya langsung mengantar teman-teman ke USS, namun berhubung tiket USS sekarang mahal (hampir 2x lipat harga waktu dulu saya beli) dan berhubung saya sudah pernah kesana jadi saya hanya mengantar mereka saja. Sisanya saya habisnya untuk berjalan-jalan di National University Hospital (NUH). NUH tersebut merupakan connecting antara stasiun MRT, sebuah universitas, rumah sakit dan mall. Situasinya benar tidak seperti rumah sakit. Saya memutuskan untuk makan di food court nya dan pilihan jatuh ke Penang Street untuk sekedar makan roti prata.

Harga roti prata disini lumayan mahal jika dibandingkan dengan membeli roti prata di little India atau USS. Di little India harganya hanya $1-$2, di USS sekitar $4, sementara disini harganya $6-an karena ditambah dengan pajak restoran dan pelayanan. Overall, untuk rasa sih lumayan enak meskipun curry-nya tidak ada dagingnya padahal kalau beli di USS biasanya curry-nya ada dagingnya. Maklum mungkin karena ini tempat nongkrong para dokter dan dokter muda jadi harganya memang lebih mahal. Kebetulan pula saat saya sedang makan disana banyak para dokter dan dokter muda yang sedang berdiskusi, cara mereka berdiskusi tidak jauh berbeda dengan kami ternyata.

Tidak lupa juga kami membeli ice cream atau orang-orang bilang disini uncle ice cream atau juga kalau di Bandung namanya es krim orchard road. Dua tahun lalu harga es krim ini masih $1 dengan kurs Rp.7500 namun sekarang harganya naik ternyata sodara-sodara, selain yang harganya sekarang jadi $1.20 (kalau beli nya di dekat Bugis Junction) dan $1.50 (kalau belinya di dekat Esplanade) kurs rupiah juga sekarang jadi sekitar Rp.9680. Bikin sesak napas emang kalo segala hal di konversiin apalagi kalo bawa-bawa kalkulator misalnya, pasti itu kalkulator jadi error saking kebanyakan dikonversi. Silahkan tebak mana tangan saya yang diatas? Yaa betul sekali, yang pakai jam tangan dan kulitnya terbakar. Enak sekali tinggal di luar negeri itu, tidak perlu memikirkan warna kulit malah tan skin itu dibilang bagus sampai agnes monica rela jadi hitam kan. Berbeda sekali dengan Indonesia, artis ramai-ramai suntik putih, padahal dicat aja sekalian biar putihnya sama kaya tembok.:P
Hari kelima kami memutuskan untuk mengunjungi Malacca, sebuah kota tua kecil di daerah Malaysia. Awalnya kami berniat memakai kendaraan umum saja untuk mencapai kota itu, tetapi berbekal pengalaman kami ke Legoland, Johor Premium Outlets dan akhirnya kesasar di Terminal Larkin, agak paranoid juga melihat situasi Terminal Larkin yang lebih mirip Terminal Leuwi Panjang. Mengingat Malaysia tidak seaman Singapore maka saya dan teman-teman mengurungkan diri untuk menaiki kendaraan umum lagi. Beruntung teman saya mengontak Atase Pertahanan Indonesia di Malaysia sehingga kami akhirnya dijemput sopir KBRI di Imigrasi Malaysia untuk melanjutkan perjalanan ke Malacca. Nama sopir nya Pak Ramli, beliau baik sekali. Saking baiknya sampai menunggu kami hampir 3 jam karena foto-foto dulu di Garden by the bay :p
Perjalanan ke Malacca tersebut memakan waktu hampir 3 jam lebih sedikit, agak shock ketika diperjalanan, tepatnya di depan mobil KBRI yang kami tumpangi, seorang pejalan kaki bersuku india dijambret handphonenya oleh seorang bersuku melayu dari motor. Beruntung saya tidak melihat secara langsung peristiwa itu karena baru saja membuka mata et causa ketiduran, tapi teriakan yang dijambret terdengar kencang sekali. Caca begitu sangat ketakutan karena dia melihat dengan jelas sebuah proses penjambretan oleh seorang "ragut" dalam bahasa Malaysia, yang berarti perampok. Peristiwa tersebut memaksa kami untuk tetap tinggal di hotel pada malam itu, ditambah dengan nasihat Pak Ramli bahwa memang di Malaysia situasi tidak begitu aman, beliau dan pemilik hotel juga meminta kami untuk tidak kemana-mana dulu malam itu disamping karena masih aura Chinese New Year jadi kebanyakan toko tutup sehingga tidak aman bagi kami, wanita-wanita lucu nan imut ini. Pak Ramli juga mengingatkan kami tentang pentingnya menjaga passport agar tidak dicuri,bisa bahaya kalau passport dicuri. Pulang ke Indonesia nya lagi harus nunggu passport beres. Gubrak! 
Beruntung pula saya memiliki teman yang rumahnya tidak jauh dari kota Malacca. Hampir dua tahun kami tidak bertemu, terakhir bertemu saat di City Hall. Kebetulan ketika status lokasi saya di Yishun (Singapore), dia bilang bahwa akan mentraktir saya tapi kemudian saya malam itu sudah berada di Malacca. Tidak lupa saya menceritakan kejadian yang baru saja kami alami. Dan Alhamdulillah dia mau mengantar kami keliling Malacca. Malam itu dia baru sampai rumahnya sekitar pukul 12 malam, jadi dia meminta saya menunggu jam 12 malam,setelah itu dia akan menghubungi saya karena dia sedang menyetir  dari saremban. Saya nggak "ngeh" kalau Saremban itu jauh, pagi-paginya malah saya suruh menjemput saya dan teman-teman di hotel, mana saya baru sadar juga kalau jarak dari rumahnya ke Malacca lumayan jauh sekitar 1 jam belum lagi macet. Mana saya dari Indonesia nggak bawa oleh2 apa2 (pas cerita ke ibu saya, beliau bilang itu ajaran siapa. salah lagi! sampai ibu saya niat mau maketin oleh2 ke Malaysia gara2 saya sudah menyusahkan dia haha dasar ibu! di peraturannya kan ga boleh ngirim semacam makanan-makanan gitu paling kalo maksain ditahan di bea cukai itu makanan akhirnya). Pagi-pagi sekali dia sudah memarkirkan mobilnya tepat di depan hotel kami, white city car dengan nomor polisi (kalo di Indonesia) JPO 1011. Ini dia penampakan mobil KL gorgor (atau kakak KL dalam bahasa Chinanya) yang baik hati sekali.

Nindy aja sampe bilang,"ai baik banget, di Indonesia mana ada China sebaik itu, senyum terus lagi, kalo di Indonesia atau China yang biasa kita temuin di jalan mah mana ga senyum lagi, ga kenal sih. Haha." Ya iya sih Nin, kalo ga kenal mah kecuali kita kenal dekat kalo ga senyum-senyum banget ditimpuk pake stetoskop. Dia mengajak kami berkeliling dan tidak lupa memilihkan tempat kami sarapan yaitu di Old Town White Coffee. Dia memilihkan tempat makan itu berdasarkan adanya sertifikat halal yang didapat restoran itu padahal dia sendiri non muslim loh. Berbeda sekali dengan teman saya yang dulu mentraktir hainan chicken rice di orchard road, begitu saya tanya kehalalan nya dia bilang,"makan ajalah aku juga sempet dikasih makan pork padahal ga dibilangin itu pork, dibilangin pas udah dimakan" padahal dia muslim-_-
Seusai sarapan kami berjalan-jalan ke daerah jonker street, stadyhust sampai ke pantainya segala sampai ditraktir pula sama dia. Sampai saya merasa bersalah sekali sudah menjadikan dia tukang nyetir, tukang foto, tukang bayarin, tukang nganter-nganter dibayar sama kita ngga, malahan ngabisin bensinnya. Padahal sorenya dia sudah harus ke Singapore, dan tentu saja dia kena macet berjam-jam hingga sampai Singapore baru pukul setengah dua malam dan esoknya jam setengah delapan dia sudah harus masuk kantor. So i just can say thanks for all^^
Setelah itu sore sampai malamnya kami menyusuri Jonker Walk, penuh dengan lautan manusia. Tukang makanan disini lengkap, saya membeli dimsum yang harganya lumayan murah dan juga enak banget. Harga-harga disini juga untuk harga oleh-oleh hampir setengahnya harga toko-toko di KLIA. Tadinya saya ingin sekali makan chicken rice ball famosa tapi berhubung begitu kami pulang tokonya closed karena kehabisan stok. Ya sudahlah. Sepanjang jalan kami juga sedikit was-was karena rupanya Malacca tidak seaman Singapore, cukup banyak yang kalo di Indonesia manggil "hai cewe!" serem amat mana begitu saya lihat dia sedang under control, ya , yang dibawanya minuman keras. Otomatis teman-teman saya langsung ngibrit lari,  mau tidak mau saya juga ikutan lari sampai hotel baru sadar kalo kaki saya lecet. Hadeuuh. (masih beruntung yang lain sudah lecet duluan pas di Singapore sementara saya telat lecetnya)
Esoknya setelah sarapan roti prata di sebuah restoran india, kami dijemput kembali oleh sopir KBRI untuk menuju hotel di bukit bintang, Kuala Lumpur. Di perjalanan Pak Ramli tidak lupa mengisi bensin terlebih dahulu. Harga 1 liter bensin sekitar 2RM. Ternyata mengisi bensinnya tinggal memasukkan uang setelah itu kita turun untuk mengisi bensin sendiri. So, selain harus bisa nyetir juga harus bisa mengisi bensin sendiri.

Hotel kami kali ini berada di pusat kota bahkan ibaratnya tidak susah untuk mencari makanan. Menurut saya, kawasan ini sekaligus "Red Light District"nya Malaysia. Ada banyak wanita cantik disini, tapi perlu ditanyakan "siapa dia" haha subhanallah sekali kali itu saya lewat dan tidak sengaja mendengar orang yang menawar wanita cantik itu seharga 50RM. Buset lah murah banget, seharga parfum KW1 yang dijual di Sungai Wang Plaza. Tapi inilah hidup. Ini lah salah satu cara mensyukuri hidup. Saya mungkin tidak tercipta secantik dia, tetapi saya beruntung lahir dari orang tua yang sangat bertanggung jawab. Sangat beruntung sekali memiliki ayah dan ibu seperti beliau, mendidik saya tidak hanya mengenai duniawi saja. Saya ingat bagaimana beliau sedari kecil, bela-belain membayar ustadz untuk mengaji secara privat atau untuk sekedar belajar bahasa inggris. Dan semua sekarang baru terasa memang benar apa yang dikatakan oleh orang tua. Saya juga baru memahami kenapa dulu sampai SMA saya dilarang punya pacar dan baru sekarang pula saya memahami dan mengerti bahwa larangan mereka tidak pernah salah. Beruntunglah saya tidak pernah berani melanggar meskipun dibelakang mereka karena apa yang saya tanam dulu adalah apa yang saya tuai sekarang. Terima kasih mam pap!
Malamnya kami hanya berjalan-jalan saja di sekitar hotel, karena suasana memang sangat ramai. Saya membeli sate sotong, enak bangetlah kalo ga inget konversi ke rupiah harganya berapa.haha. Saya dan teman-teman juga membeli dimsum lagi, tapi rupanya salah tempat jadi tak seenak ketika beli di Malacca. Akhirnya kami ke KFC, sebenarnya lebih tepatnya mengantar tassa dan caca makan di KFC karena saya dan Nindy hanya membeli meatball soup saja sama softdrink. Sebenarnya karena kekenyangan juga makan terus dan saya pikir butuh softdrink karena mata saya akan terbuka lebih lama. Seterusnya kami mampir ke semacam 7eleven untuk sekedar membeli minum lagi. Tadinya kami ingin berkeliling lebih jauh lagi tapi berhubung kami sempat dikejar-kejar seorang keturunan arab-india yang kata nindy sih lumayan ganteng, dia tiba-tiba udah ada disebelah saya mengejar-ngejar kami sampai ke hotel sambil bilang" ur what's App? Line? Facebook?" dan memaksa kami kembali ke hotel sekaligus bersembunyi di lobby hotel sampai tuh orang bener-bener hilang dari peredaran.   
Hari terakhir kami check out dari hotel, kemudian dijemput kembali oleh sopir KBRI yaitu Pak Ramli. Beliau pula yang mengantar kami ke Genting dan naik cable car. Inilah view yang terlihat ketika di Genting Skyway.

kemudian ke Batu Caves dan akhirnya ke Suria KLCC lagi untuk sekedar membeli oleh-oleh juga karena kami diundang makan bareng oleh Atase Pertahanan Indonesia di Malaysia. Beruntung sekali saya punya teman yang mempunyai koneksi ke kedutaan besar, jadi kami hemat uang makan haha. Mana di traktirnya di rumah makan dalam mall gede lagi. Om yang wakil Atase Pertahanan nya sampai bilang,"Ayo kalian tambah lagi makannya, jangan malu-malu. Jangan-jangan kalian lagi diet." Sambil bercerita tentang sejarah negara malaysia, beliau ternyata baru ditempatkan 3 bulan di Malaysia. Malaysia dulu itu kata beliau seperti kampung, mana ada yang mau jalan-jalan ke sana. Hingga pada tahun 1980-an penduduk Malaysia yang terdiri dari China vs Melayu mulai tidak berimbang karena suku chinese lebih banyak, sehingga untuk menyeimbangkannya pada masa pemerintahan mahatir, beliau meminta kepada presiden soeharto para WNI untuk dijadikan warga negara malaysia. Beliau pula mencontohkan tentang sopir KBRI yaitu Pak Ramli, aslinya orang Pekan Baru tapi sekarang semua keluarganya sudah berkewarganegaraan Malaysia. Bahkan ternyata pelayan restoran tempat kami makan pun dia berasal dari Pasar Antri Cimahi, haha malah setaun sekali dia pulang ke Cimahi. Jadi teringat pula dengan tante dedah dulunya di sumedang yang sekarang bermukim di Sabah, Malaysia. Pada waktu ibu saya bilang kalau saya akan ke Malaysia beliau sangat welcome sekali, bahkan bilang akan ngasih saya uang jajan dan karena punya restoran jadi boleh makan di restorannya gratis tapi saya bilang saya mau ke kuala lumpur, eh ternyata jaraknya jauh sekali, harus naik pesawat lagi. Kalau mau ke beliau turunnya bukan di KLIA tapi di kota kinabalu katanya. yasudahlah. Mungkin beliau dulu juga yang dapat kewarganegaraan gratis juga. Hehe. Sehabis itu Sopir KBRI alias Pak Ramli mengantar kami ke KLIA padahal tadinya mau nganterin ke Putrajaya, hanya karena kami takut ketinggalan pesawat jadi kami memilih untuk langsung ke airport. Tidak lupa saya dan teman-teman membeli oleh2 yang tidak sempat kami beli. Ini salah satu penampakan oleh2 yang dibeli oleh caca.

Akhir kata sekian perjalanan panjang ini, banyak yang tidak bisa diceritakan semuanya karena ketikan jari saya yang terbatas. Terima kasih sahabat-sahabatku, Tassa, Caca, Nindy dan juga KL Fong, yeaah!