Kamis, 03 September 2009

Our Inspirations Never Die


Gelap.Tak terlihat. Hanya cahaya remang-remang di ujung jalan yang membuatku tetap bertahan. Seolah menerawang. 15 tahun lalu. Aku masih tepekur, menghadap langit, menapaki bumi. Proxima centauri masih tetap disana, tapi orion tak lagi terlihat. Inikah dulu yang kuharap? Menatap puing-puing bangunan roboh yang dulu sempat berdiri kokoh.
“Bangunan ini kini sudah tidak terpakai lagi.”cerita kakek tua yang menghampiriku.
Entah. Mungkin dia ikut sedih melihat bulir-bulir air mataku yang mulai jatuh tak tertahankan. Bukan, bukan bangunan tua ini yang aku tangisi. Tapi sesuatu yang jauh lebih berharga daripada itu, yang bahkan tak pernah mereka coba untuk menjaganya.
“Semua teman-temanmu itu sudah menjadi orang-orang besar di kota.”
Kenangan itu begitu kuat. Ingatanku tak bisa aku bohongi. Semuanya terekam begitu jelas. Anak-anak polos yang tertawa dalam keterbatasan. Seonggok pasir yang masih tersisa di sudut bangunan mulai keras dan menyatu dengan tanah, hanya itu yang terlihat. Dinginnya malam menusuk kulitku, membuatku terpaksa pergi dari tempat ini. Pergi untuk kembali.
***
Megahnya kota metropolitan membuat mereka lupa akan sesuatu. Kenangan. Aku memang bukan Ikal yang berusaha mencari A Ling atau kesepuluh anggota laskar pelangi. Aku hanya rindu pada masa kecilku. Seharusnya kenangan tak untuk dilupakan, seharusnya mereka masih tetap di hatiku, namun kadang aku bertanya,’apakah aku masih ada di hati mereka? Ataukah waktu telah menghapuskan ingatan mereka?’. Sekian waktu berlalu, namun tak satu pun yang peduli akan semua itu.
“Minumlah ini nak, mungkin akan sedikit menghangatkan tubuhmu.”nenek tua itu memberiku secangkir bandrek hangat.
Sekali lagi, ingatanku mulai melayang-layang. Ramadhan kali ini tak sebatas bangunan tua yang mulai roboh itu, tapi juga tentang kedua batu nisan yang pagi tadi kusinggahi. Kupanjatkan alunan doa sebagai pengantar menuju surga abadi meski tetesan air mata masih tertinggal disana.
***
“Kau?” mataku terpana tak percaya melihat sesosok laki-laki dihadapanku.
“Yeah. Kau masih ingat denganku, Anissa?“tanyanya. Aku mengangguk.
Satu sentuhan di pundak sekaligus deru mesin mobil yang mendekat kembali memacu adrenalinku.
“Kami semua sekarang disini…”cerita Devina dari belakangku.
“Untuk mengenang hari pertama kita memakai seragam merah-putih.”lanjut Zaky,”dan ketemu Bapak Farhan.”
“Wah, iya.. aku juga nggak sabar pengen ketemu mereka. Menurutku mereka adalah guru terbaik di dunia.”jelas Tina
“Mereka sudah tenang di alam sana. Menuju proses sebuah keabadian” kataku.
Hampir semuanya Diam Tanpa Kata. Jujur Aku Tak Sanggup mengatakan ini, tapi ternyata Tak Ada Yang Abadi. Andai Saja kami menyadari lebih awal mungkin semua takkan seperti ini. Penyesalan memang selalu di akhir, meski begitu Kuingin Selamanya kita semua selalu bersama. Demi pahlawan tanpa tanda jasa, because they’re our inspirations.

0 komentar: