Kamis, 03 September 2009

The Revolution of Radiance


Revolusi adalah proses menjebol tatanan lama sampai ke akar-akarnya, kemudian menggantinya dengan tatanan yang sama sekali baru. Begitu juga yang dimaksudkan dengan revolusi sains, atau jelasnya menurut Kuhn, revolusi sains muncul jika paradigma yang lama mengalami krisis, dan akhirnya orang mencampakkannya serta merangkul paradigma yang baru. Jejak kajian tentang cahaya dapat anda temukan jauh sebelum .”peradaban Yunani kuno bahkan sebelumnya. Ilmuwan kunci dalam kajian ini adalah Euclid, yang termasyhur dengan pendapatnya,”Manusia dapat melihat karena mata mengirimkan cahaya kepada benda. Sampai kemudian muncul Al Hazen yang memiliki nama asli Ibnu al-Haitham (965-1038). Al Hazen berhasil membuktikan kekeliruan pendapat Euclid, menurutnya yang benar justru sebaliknya,”Anda dapat melihat benda karena ada cahaya dari benda yang sampai ke mata.”
Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa fisikawan tertarik untuk mengetahui cepat rambat cahaya. Menurut pengukuran Roemer pada tahun 1675, cahaya mempunyai laju sebesar 200 ribu km/s. Sebelumnya Galileo Galilei, hanya menyebutkan secara kualitatif bahwa cahaya mempunyai kecepatan yang luar biasa.
Namun dengan pengaruh kejeniusan daya cipta Sir Isaac Newton (1624-1727) yang mengemukakan model korpuskular (seperti partikel) maka teori gelombang penyebaran cahaya tidak benar-benar diterima sampai tahun 1850, walaupun cukup banyak bukti percobaan yang mendukungnya. Pada waktu itu, percobaan akhirnya menekankan pada model partikel, dan sampai pergantian abad, teori gelombang tidak diperdebatkan. Kebanyakan ilmuwan merasa bahwa model korpuskular sudah layak dan akan tetap begitu sampai akhir zaman. Pada awal abad ke-19 Thomas Young (1773-1829) menemukan adanya peristiwa interferensi pada cahaya. Usulan Young diperkuat oleh James Clerk Maxwell (1831-1879) yang menyatakan bahwa cahaya merupakan bagian dari gelombang elektromagnetik. Maxwell masih yakin bahwa gelombang elektromagnetik membutuhkan medium khusus untuk dapat merambat dan ia menamakan medium itu sebagai eter bercahaya. Sayang sekali, pada percobaan Michelson-Morley menegaskan bahwa eter sesungguhnya tidak ada. Jadi cahaya sebagai salah satu gelombang elektromagnetik tidak memerlukan medium untuk merambat.
Upaya penyingkapan cahaya terus berkembang, Einstein (1879-1955) menunjukkan bahwa efek fotolistrik hanya dapat dijelaskan dengan menganggap cahaya terdiri atas aliran tidak kontinu foton energi elektromagnetik. Paham yang percaya bahwa cahaya dapat dijelaskan dengan menganggapnya sebagai partikel disebut teori korpuskular dan paham yang percaya bahwa cahaya hanya dapat dijelaskan jika dianggap sebagai gelombang(teori undulasi). Perdebatan ini mulai mereda setelah lahirnya teori kuantum sejak 1900-an. Teori ini sejatinya cenderung pada paham korpuskular yang menganggap bahwa cahaya adalah partikel(foton) yang memiliki aspek gelombang. Aspek gelombang inilah yang menentukan keadaan foton-foton secara statistic.
Sampai sekarangpun diyakini bahwa cahaya dipancarkan dalam ruang dalam bentuk gelombang. Cahaya bergerak dalam ruang dengan kecepatan c, kira-kira 3x100000000 m/s.

0 komentar: